Oleh: Masrully, S.IP (Pengelola Penelitian)
Komisi Pemilihan Umum memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah secara serentak akan digelar pada 9 Desember 2020 nanti. Pilkada dilaksanakan saat kemungkinan pandemi COVID-19 masih berlangsung (mediaindonesia.com, 12/06/2020). Keputusan ini diambil setelah pemerintah menetapkan fase pandemi Covid-19 memasuki masa New Normal/Kenormalan Baru. Pilkada akan digelar di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Namun, keputusan tersebut masih menimbulkan polemik, karena akan dilaksanaan di tengah wabah Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali. Meskipun saat ini tengah diberlakukan kebijakan new normal, tapi tak dapat dipungkiri bahwa jumlah kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Data terbaru sampai 3 September 2020 total jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia adalah sebanyak 164.268 kasus, mengalami penambahan sebanyak 3.662 kasus dari 1 hari sebelumnya (www.covid19.go.id). Ditambah lagi adanya catatan dari Bawaslu dalam konteks pandemi, tiga provinsi berstatus rawan tingkat tinggi, dua sedang, dan empat rendah. (SindoNews, 23/06/2020).
Pro-Kontra
Ada dua sisi yang berbeda yang dipertimbangkan oleh pihak yang pro atau yang kontra dengan keputusan ini. Dimana, jika Pilkada tetap dilaksanakan akan menimbulkan kerumunan orang, sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan penyebaran Covid-19 di tengah kondisi wabah yang belum sepenuhnya terkendali. Meskipun hal ini direncanakan akan diatasi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Disisi lain, jika Pilkada ditunda lebih lama lagi hingga tahun depan, menurut Ketua KPU, akan menimbulkan persoalan anggaran, karena anggaran di tahun ini sudah ada yang dipakai. Masalah lainnya, adalah masalah SDM, terutama di panitia ad hoc seperti PPK, PPS, dsb. Dalam kurun waktu tersebut kalau ada yang meninggal, mesti diganti lagi (koran.tempo.co, 31 Maret 2020). Isu lainnya adalah masalah kekosongan jabatan Kepala Daerah. Jika Pilkada ditunda, maka aka nada banyak jabatan Kepala Daerah yang kosong. Jika kepala daerah diisi oleh PLt. konsekuensinya adalah wewenang yang dimiliki menjadi terbatas sehingga tidak bisa mengambil/mengeksekusi kebijakan-kebijakan strategis. Hal ini tentunya akan menjadi masalah jika berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dampak lain adalah adanya potensi perubahan data DPT dalam kurun waktu penundaan tersebut.
E-voting atau I-voting
Mengamati kondisi ini, banyak pihak yang kemudian mengusulkan untuk dilaksanakannya pilkada melalui e-voting. E-voting atau electronic voting adalah metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam suatu pemilihan dengan menggunakan perangkat elektronik. Alternatif ini dinilai dapat mengatasi kekhawatiran meningkatnya penyebaran Covid-19. Negara yang pertama kali menerapkan E-Voting adalah Estonia pada tahun 2005 dalam taraf lokal, kemudian pada 2007, mereka meningkatkannya menjadi taraf nasional. Selain itu, juga ada India, Filipina, dan beberapa negara lainnya dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.
Sementara, di Indonesia sebenarnya e-voting juga bukan hal baru. E-voting sudah beberapa kali diterapkan, namun masih dalam skala kecil. Yang pertama kali dan dianggap berhasil adalah dalam pemilihan Kepala Dusun di Jembrana, Bali pada tahun 2009. Kemudian, berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT), sampai Mei 2019 e-voting telah digunakan untuk pemilihan kepala desa di 981 pemilihan di 18 kabupaten di seluruh Indonesia (infokomputer.grid.id, 07/05/2019).
Namun konsep e-voting yang diimplementasikan selama ini lebih kepada mengubah sistem pemungutan, penghitungan suara dari manual menjadi elektronik, dimana pemilih tetap datang ke TPS. Sehingga dalam konteks untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa seperti pandemi Covid-19 ini yang mengharuskan meminimalisir kerumunan orang, maka ke depan yang lebih rasional untuk diadopsi adalah i-voting/ internet voting.
Internet Voting adalah proses pemilihan umum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi internet, dimana proses pemberian suara bisa dilakukan dimana saja, tanpa harus mengumpulkan pemilik suara di satu tempat. Alternatif ini bisa menjadi jawaban untuk mengatasi keresahan yang timbul jika tetap menggelar pemilu di tengah pandemi yang belum hilang. Namun melihat ketersediaan waktu saat ini dimana pilkada sudah semakin dekat, persiapan untuk menerapkan i-voting tentu saja akan cenderung sulit dilakukan. Tetapi, setidaknya ini menjadi momen bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali semangat untuk menerapkan i-voting ke depan. Karena ada banyak hal keuntungan yang diperoleh dengan i-voting, dan dapat menjadi alternate ketika terjadi bencana seperti saat sekarang ini.
Keunggulan dan Tantangan I-voting?
Keuntungan menggunakan e-voting/i-voting adalah perhitungan suara akan lebih cepat, bisa menghemat biaya pencetakan surat suara, pemungutan suara lebih sederhana, dan peralatan dapat digunakan berulang kali untuk Pemilu dan Pilkada, dan tentunya untuk konteks terjadi wabah seperti sekarang, ini akan menjadi solusi. Selain itu, alternative ini dapat mengantisipasi banyaknya korban berjatuhan dari pihak panitia pemilu akibat kelelahan. Begitu juga mengantisipasi kendala seperti rusaknya kotak suara pada saat distribusi ke daerah. I-Voting juga memperbesar peluang partisipasi pemilih. Pemilih bisa memberikan pilihannya dari mana saja, sehingga akan membuka ruang partisipasi yang luas, termasuk penyandang disabilitas.
Sementara itu, terkait tantangan, salah satu hal yang paling disoroti berbagai pihak terkait i-voting adalah soal keamanan data. I-voting ini memiliki celah kemungkinan manipulasi data/hasil suara. Hal lain adalah suitnya dilakukan pengawasan untuk memastikan proses pemberian suara benar-benar dilakukan oleh secara “langsung” oleh pemilih. karena pemberian suara dilakukan tidak di TPS sehingga cenderung sulit diawasi.
Kesiapan Indonesia untuk I-Voting
Penerapan i-voting di Indonesia membutuhkan persiapan yang dari segala aspek, terutama terkait SDM dan infrastruktur. Lalu, bagaimanakah kondisi aspek tersebut di Indonesia? Untuk dapat melaksanakan pemilu di tingkat daerah atau bahkan nasional tentunya dibutuhkan kesiapan SDM, terutama masyarakat pemilih. Kemampuan pemilih untuk dapat memahami dan menggunakan perangkat i-voting merupakan sebuah prasyarat yang harus terpenuhi. Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat melek teknologi ataupun melek internet. Terkait hal tersebut, pada tahun 2018 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia, mencatat bahwa penduduk Indonesia yang sudah melek internet baru sekitar 64,8 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. (radarmalang.jawapos.com, 19/05/2019). Ini yang masih menajdi pe-er kita bersama bagaimana membangun SDM masyarakat Indonesia yang mampu menggunakan teknologi dan internet.
Selanjutnya, hal yang juga mendasar adalah masalah infrastruktur, ketersediaan jaringan internet. Sementara itu, untuk saat ini belum semua wilayah di Indonesia yang tersentuh oleh jaringan internet. Menurut data Kementerian Kominfo, hingga April 2019 masih ada 24.000 desa yang belum tersentuh akses layanan internet (www.kominfo.go.id/16/04/2019). Ini dapat memberikan gambaran kesiapan Indonesia untuk menerapkan i-voting. Sampai saat ini, pemerintah melalui Kominfo dan pihak terkait masih terus bekerja untuk meningkatkan persebaran jaringan internet ke seluruh daerah di Indonesia.
Pada akhirnya, i-voting sebenarnya dapat menjadi salah satu opsi yang ke depan rasional untuk dipertimbangkan untuk diadopsi, tentunya dengan mempersiapkan prasyarat diatas dari sekarang. Selain, untuk mengantisipasi kendala-kendala seperti wabah Covid-19 maupun bencana lainnya, opsi ini juga menawarkan beberapa kelebihan lainnya, termasuk soal efisiensi. (MSR)