
Di tengah merebaknya wabah virus corona atau Covid-19 di beberapa negara termasuk Indonesia, pemerintah terus berupaya keras dan bergerak sangat cepat menangani virus tersebut dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan. Upaya Pemerintah dalam menangani virus corona terhadap individu atau kelompok orang pada kategori ODP, PDP maupun suspect, apalagi positif corona dilakukan semaksimal mungkin dalam rangka mengobati dan mencegah penyebarannya yang dikhawatirkan kian meluas. Dampak mewabahnya Covid-19 di Indonesia telah ditemukan sebanyak 227 kasus dan 19 orang meninggal dunia. Dengan kondisi seperti ini, wajar jika ada masyarakat yang mengalami kebingungan hingga kepanikan, untuk itu pemerintah terus melakukan upaya-upaya pembaharuan tindakan dan informasi dalam menangani pandemi ini.
Dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, kebijakan pemerintah pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara pun terus dilakukan. Demikian halnya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadinya Wabah Virus Corona atau Covid-19.
Fatwa MUI ini memuat ketentuan hukum yakni, pertama bahwa Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkan terpapar penyakit. Karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
Kedua, orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Orang yang terpapar Covid-19, dapat mengganti Shalat Jum’at dengan Shalat Dzuhur di rumah atau lokasi dimana yang bersangkutan tinggal. Hal ini mengingat bahwa Shalat Jum’at merupakan ibadah wajib yang dilakukan di luar dan menyangkut jama’ah sehingga berpeluang terjadinya penularan. Pada fatwa ini disebutkan bahwa haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan. Seperti berjama’ah shalat lima waktu atau rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya. Serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
Ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal ini. Yakni dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan Shalat Jum’at dan menggantinya dengan Shalat Dzuhur di rumah atau lokasi yang bersangkutan tinggal, serta meninggalkan jama’ah shalat lima waktu, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya. Dalam hal berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang. Maka tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19. Seperti tidak melakukan kontak fisik langsung dengan bersalaman, berpelukan, cium tangan. Mereka juga disarankan membawa sajadah sendiri dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Keempat, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan Shalat Jum’at di kawasan tersebut. Sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Dzuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jama’ah shalat lima waktu atau rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jum’at.
Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.
Ketujuh, pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar Covid-19 terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.
Kedelapan, Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdo’a kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (doa daf’u al-bala') khususnya dari wabah Covid-19.
Kesembilan, tindakan yang menimbulkan kepanikan dan menyebabkan kerugian publik. Seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.
Komisi fatwa MUI juga merekomendasikan, pemerintah wajib melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap keluar masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia kecuali petugas medis dan import barang kebutuhan pokok serta keperluan emergency. Dalam hal urgent ini, Umat Islam wajib mendukung dan mentaati kebijakan pemerintah yang melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar Covid-19, agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah. Pada situasi yang kurang menguntungkan ini, masyarakat diharapkan proporsional dalam menyikapi penyebaran Covid-19 dan orang yang terpapar Covid-19 sesuai kaidah kesehatan. Oleh Masyarakat pun agar diberikan edukasi dengan menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan dinyatakan sembuh. (bphumas2020)