
Surat elektronik penerimaan kursus yang masuk di kotak masuk surat elektronik saya bertanggal tiga bulan Juni lalu mengawali perjalanan saya mengikuti diklat Facilitating multi-stakeholder processes and social learning di Center for Development Innovation (CDI) Universitas Wageningen, Belanda. Diklat ini adalah diklat yang mengajarkan metode dan instrument fasilitasi perubahan, inovasi pemerintahan dan kebijakan publik yang membutuhkan fasilitasi banyak stakeholder. Setiap tahun, Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Nuffic Neso memberikan ribuan beasiswa dengan pembiayaan penuh untuk menempuh pendidikan dari kursus singkat, jenjang sarjana, master hingga doktor. Prioritas terbesar banyak diberikan pada WNI. Nuffic Neso adalah perwakilan dari Pemerintah Belanda yang bertugas mempromosikan pendidikan tinggi Belanda berbahasa Inggris ke negara-negara lainnya. Untuk mendapatkannya, kita harus memiliki setifikat IELTS/ TOEFL, rekomendasi akademis dan professional serta menulis essay berbahasa Inggris berupa motivasi kita untuk mendapat beasiswa tersebut.
Mengapa Belanda?
Di mata saya, Belanda adalah negara paling internasional di Eropa. Tidak seperti negara lain di Eropa yang pernah saya kunjungi, setiap orang di Belanda yang saya temui selalu bisa berbahasa Inggris bahkan penjual di pasar tradisional. Belanda menurut saya adalah negara yang paling toleran terhadap imigran, menjunjung tinggi kebebasan dan memiliki metode pengajaran yang egaliter. Tak dapat dipungkiri, lingkungan yang egaliter adalah stimulus yang baik bagi bertumbuhnya inovasi. Tidak ada rasa sungkan antara siswa dan pengajar dalam menyampaikan pendapat, sebaliknya dosen selalu mengapresiasi dan menstimulus setiap pendapat mahasiswa. Tidak ada protokol resmi yang berbelit dalam pengambilan keputusan bahkan di sektor publik.
Maka tak heran, negara kecil yang berada di bawah permukaan laut tersebut selalu menduduki urutan 10 besar teratas negara dalam indeks inovasi global, indeks kebahagiaan, daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Kehancuran fisik dan ekonomi yang pernah mereka alami pasca perang dunia II dijawab dengan investasi di sumber daya manusia, inovasi, penghentian kolonialisme dan refleksi diri. Sebab, bangsa yang terus-terusan diam dalam zona nyaman, kemanjaan dan narsisme mayoritas suatu saat akan mengalami masa kemundurannya.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Diklat di Belanda?
Empat minggu sebelum saya berangkat ke Belanda, saya diberikan pre-course assignment atau tugas pra-kursus yang harus saya kumpulkan dua minggu sebelum kursus ini dimulai. Dalam tugas yang tanpa banyak standar dan penjelasan ini kami diminta menulis essay sebanyak tiga halaman berupa kasus tentang inovasi pelayanan publik yang sedang dihadapi sehingga memerlukan solusi efektif dan multi-stakeholder. Dari penugasan ini panitia ingin mengetaui sejumlah hal yakni; kreativitas peserta karena tugas diberikan tanpa banyak panduan, asesmen kebutuhan peserta kursus, kompetensi peserta kursus, karakter belajar dan harapan peserta kursus sehingga dapat diadaptasikan ke dalam metode dan instrument pengajaran pada saat kursus diselenggarakan.
Kesan minggu pertama saat saya Diklat di Belanda adalah adanya kejelasan materi dan kompetensi fasilitator. Pada hari pertama bersama ke 39 rekan dari berbagai negara kami diminta untuk memperkenalkan diri untuk membuat kelas lebih partisipatif. Minggu pertama dipenuhi dengan agenda di dalam dan luar kelas. Meski demikian, tidak ada ceramah dalam tahap ini. Pada minggu ini kami disajikan secara terus menerus instrumen dan metode yang menuntut partisipasi aktif seluruh peserta. Nampak jelas bahwa metode disiapkan detail jauh sebelum diklat dimulai dengan riset-riset yang mereka kerjakan sendiri serta fasilitator yang kompeten. Pada minggu ini melalui Focus Group Discussion (FGD), penggambaran masalah, penyusunan rencana solusi, dan permainan-permainan, mereka mengasah kompetensi kepemimpinan, dan pemecahan konflik kami semua berdasar kasus pre-course assignment yang telah kami susun masing-masing.
Minggu kedua pada kursus ini adalah tantangan baru bagi kami untuk mempraktekan materi yang kami dapat pada minggu pertama pada kasus yang nyata terjadi di Belanda. Pada minggu ini kami dibagi menjadi enam kelompok dengan kasus yang berbeda. Pada kelompok saya, kami diberikan wewenang sebagai fasilitator untuk memberikan rekomendasi inovasi agro-pariwisata pertanian organik yang sedang dilakukan kelompok petani di Oijsterwijk, kota di Belanda selatan. Inovasi ini melibatkan Badan Manajemen Air, Badan Auditor Lingkungan, Badan Perencana Kota, Investor, masyarakat dan petani pada daerah tersebut. Empat hari pertama pada minggu ini kami melakukan wawancara dan FGD pada semua stakeholder untuk menangkap respon dan permasalahan mereka terhadap inovasi tersebut agar lancar pelaksanaannya. Dua hari setelahnya, hari kami padat dengan analisis data, penulisan laporan dan persiapan presentasi pada semua stakeholder. Satu hari terakhir pada minggu ini kami mempresentasikan hasil riset singkat dan rekomendasi yang kami berikan pada permasalahan-permasalahan yang ada. Respon dari semua stakeholder pada saat kami presentasi sangat mengapresiasi kontribusi rekomendasi yang kami berikan. Saya takjub pada pertanian di Belanda karena; kebanyakan petani di sana adalah petani yang menjunjung nilai keramahan lingkungan dan kebanyakan adalah lulusan universitas dari jurusan pertanian sehingga inovasi mereka bervariasi sesuai yang telah mereka dapat di jenjang kampus.
Minggu ketiga dari kursus ini penuh dengan materi yang kami pertanyakan pada minggu sebelumnya seperti komunikasi efektif dan negosiasi. Setelah instrument dan metode tersebut disampaikan kami diminta untuk mengevaluasi diklat secara individual melalui instrument yang telah mereka susun serta mempresentasikan apa yang telah kita dapatkan pada kursus tersebut dan tindak lanjut saat kita kembali ke Indonesia.
Demikianlah pengalaman tiga minggu saya di Belanda. Beberapa hal yang ditekankan dari kursus tersebut adalah tuntutan partisipasi dan kontribusi peserta terhadap kasus di Belanda serta rencana tindak lanjut sebagai penyusun program inovasi setelah pulang dari Belanda. Maka itu saya mendukung bagi teman-teman yang ingin kursus di Belanda, karena tidak hanya ilmu bagi pengalaman profesional yang kita dapat, kursus di Belanda juga membuka pikiran kita karena kita banyak bertemu orang-orang baru dari berbagai negara yang bisa memberikan makna baru dalam memandang kehidupan lebih baik. (Pratiwi)