Artikel
Sebuah Ruang Bernama Ruang Aktualisasi
Senin, 15 Desember 2014 | 07:20:28 WIB - Jumlah Dilihat: 527
 

Penulis : Krismiyati Tasrin

Sore itu saya duduk di sofa sambil selonjoran. Beberapa malam begadang dan penerbangan lebih dari 15 jam dari Jakarta – Amsterdam membuat gurat lelah di wajah saya. Meskipun terlihat lelah, namun sebenarnya, ada pancar bahagia saya di sana.


Saat itu hari masih terang. Matahari belum terbenam. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 19.30. Minggu ketiga Bulan Mei seperti sekarang ini memang akhir dari musim semi dan menjelang musim panas. Pada musim ini, matahari biasanya tenggelam sekitar jam 21.30. Mata saya memandang keluar jendela kamar. Dari lantai 14 Hotel NH Denhaag, saya bisa menikmati pemandangan Kota Denhaag senja itu.


Sebenarnya ini adalah kali ketiga saya mengunjungi Negeri tempat Bung Hatta menimba ilmu dulu. Bedanya, kali ini saya datang karena diundang oleh NWO,  sebuah lembaga riset milik pemerintah Belanda, untuk menghadiri sebuah konferensi bertajuk “International Responsible Innovation Conference 2014”. Riset yang saya lakukan berdua dengan Evi Maya Savira, teman baik saya, dinyatakan lolos untuk dipresentasikan. Kami bahkan dinyatakan sebagai penerima travel grant atau pendanaan penuh untuk menghadiri konferensi tersebut.


Konferensi yang lebih banyak dihadiri oleh orang Eropa ini memang meninggalkan banyak kesan di hati saya. Bertemu dengan para profesor dan peneliti membuat saya banyak belajar. Kaum akademis dan pemerintah Belanda memang sedang gencar-gencarnya mengembangkan riset-riset di bidang responsible innovation. NWO bahkan memberikan cukup banyak dana hibah penelitian (research grant) untuk kelompok-kelompok penelitian di bidang ini. Itu juga mungkin sebabnya paper kami bisa diterima. Paper kami yang berjudul “Involving Local Wisdom as Values and Instruments to Internalize Public Service Innovation: Case of Denpasar City, Bali Province, Indonesia” berhasil menyajikan hasil peneitian mengenai salah satu best practices dari sebuah inovasi yang sustainable, inclusive, dan authentic. Mungkin itulah sebabnya, setelah presentasi beberapa orang menghampiri saya dan menawarkan kerjasama penelitian di bidang tersebut. Saya bahkan ditawari mengambil PhD di TU Delf bila memang berminat untuk mengembangkan penelitian terkait dengan bidang responsible innovation. Tidak ada ungkapan yang lebih baik dalam menggambarkan perasaan saya hari itu selain: “how grateful  I am”.


Secara de jure, saya memang bukan pemegang jafung peneliti, tapi dimanapun saya ditempatkan saat ini, riset telah menjadi bagian dari passion saya. A researcher by heart, begitu saya menyebutnya. Itulah kenapa setiap tahun saya selalu berusaha untuk melakukan penelitian dan mengikuti paling tidak satu kali konferensi internasional. Bukan untuk sebuah kesombongan, tapi karena saya ingin belajar dan merasa harus terus belajar. Saya masih muda, saya ingin meninggalkan jejak dan prestasi dalam setiap langkah hidup saya. Saya tidak ingin hidup saya terbelenggu oleh rutinitas semata. Menurut saya, hidup harus diisi dengan gairah atau passion karena itulah yang menjadikan kita berbeda.


Sayangnya, kebanyakan orang melihat dari sisi kesenangan atau fun-nya saja, misalnya kesenangan karena bisa jalan-jalan keliling dunia. Tidak banyak yang tau bahwa jalan menuju kesana tidak selalu mudah: bukan jalan tol yang mulus, tapi sebuah jalan berkerikil dan berbatu. Tidak banyak yang tau bahwa ada malam-malam panjang di sana. Ada tumpukan dari puluhan bahkan ratusan buku dan jurnal yang harus dibaca. Ada puluhan cangkir kopi harus disedu demi membuat mata terjaga. Ada orang-orang yang harus didekati untuk dijadikan teman diskusi. Ada uang yang dikeluarkan untuk membiayai penelitian mandiri. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk begitu banyak kesempatan atau opportunity. Itulah trade off atau pengorbanan yang harus diberikan untuk mendapatkan tingkat kepuasan pribadi.


Tulisan ini sekedar untuk berbagi. Tanpa maksud untuk menggurui, saya ingin bilang ke teman-teman muda, bahwa dimanapun kita ditempatkan saat ini, kita harus mempunyai ruang untuk beraktualisasi. Di dalam lingkungan tempat kita bekerja, entah di Unit Diklat, Litbang, Assessment atau Administrasi, ambillah waktu untuk mengeksplorasi passion diri. Adalah benar bahwa mengerjakan tugas rutin yang menjadi tupoksi adalah sebuah kewajiban dan tanggungjawab yang harus kita penuhi.  Menurut saya, lakukanlah tugas rutin itu dengan sepenuh hati, kalo perlu buatlah sebanyak mungkin inovasi. Karena bagaimanapun hal tersebut adalah ukuran kinerja atau performance pribadi.


Bila tugas harian yang menjadi tupoksimu adalah bagian dari passion-mu, bersyukurlah, karena kamu tidak perlu mencari waktu khusus untuk mengaktualisasikan dirimu. Kamu tinggal menambah intensitas belajar dan kemudian mengukir prestasi, misalnya dengan menghasilkan berbagai inovasi. Namun bila tidak demikian kondisinya, kamu harus mengambil waktu dan menciptakan ruang aktualisasi itu sendiri. Entah mengajar, menulis, melakukan penelitian, dan lain sebagainya. Jangan lupa perbanyak membaca buku dan bergaul dengan orang-orang yang berpikiran maju.


Dan yang terpenting diantara hal-hal itu, jangan gentar hati bila di tengah perjalanan nanti hanya segelintir orang mengangkat topi, sementara sebagian besar lainnya mencibir iri. Tetaplah fokus dan jangan menggubris hal-hal sepele macam begini, karena lebih baik waktumu kamu gunakan untuk melakukan hal-hal yang benar-benar berarti.


“Youth is not a time of life; it is a state of mind; it is not a matter of rosy cheeks, red lips and supple knees; it is a matter of the will, a quality of the imagination, a vigor of the emotions; it is the freshness of the deep springs of life. When the aerials are down, and your spirit is covered with snows of cynicism and the ice of pessimism, then you are grown old, even at 20, but as long as your aerials are up, to catch waves of optimism, there is hope you may die young at 80.” – Samuel Ullman

 
LOGIN PEGAWAI