
Digitalisasi pelayanan publik, ini kabar baik atau malah sebaliknya ?
Oleh : Wahyu Amalia
Pelayanan publik merupakan kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan maupun pelaksana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Aryawan, 2020). Pelayanan publik identik dengan memberikan kepuasan kepada penerima layanan, di mana pelayanan publik tersebut diusahakan semaksimal mungkin agar memberikan kepuasan dan kesan menyenangkan bagi penerima layanan. Namun kenyataannya hal ini kerap kali luput dari perhatian penyelenggara layanan. Banyak masyarakat yang mengeluhkan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. terutama terkait proses yang berbelit belit dan memakan waktu lama.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia. antara lain pelayanan yang diberikan tidak informatif, sulit diakses, dan juga inefisien. Masalah-masalah ini tentunya harus menjadi fokus pemerintah sebagai penyelenggara layanan. Pelayanan publik bersifat dinamis, sehingga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Pemerintah harus responsif terhadap berbagai kepentingan masyarakat dan sedapat mungkin memberikan pelayanan terbaik sesuai dengan kebutuhan penerima layanan.
Di era digital ini, pemerintah mulai melakukan berbagai inovasi layanan berbasis digital, yang diharapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan pelayanan publik. Digitalisasi pelayanan publik secara perlahan mulai diterapkan oleh berbagai instansi pemerintah, dengan harapan agar pelayanan dapat diakses dengan mudah dan dilakukan di mana saja. Namun di sisi lain, hal ini menimbulkan polemik baru karena kesenjangan digital di Indonesia masih tinggi. Masih banyak masyarakat di daerah yang tidak dapat menggunakan teknologi, sehingga mereka tidak bisa menjadi penerima manfaat dari digitalisasi layanan publik. Hal ini disebabkan karena keterbatasan teknologi ataupun keterbatasan kemampuan dalam menggunakan teknologi tersebut.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, tercatat sebanyak 69.21 persen penduduk Indonesia telah memiliki akses internet. Meningkat cukup pesat dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 66.48 persen. Namun persebarannya tidak merata dan lebih terpusat di daerah tertentu saja seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara, sementara itu Papua, NTT dan Maluku Utara masih cukup jauh tertinggal. Angka penggunaan internet ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya sebesar 32,34%. Namun, tingginya peningkatan jumlah penggunaan internet ternyata tidak diimbangi dengan keterampilan yang memadai dalam penggunaannya, terutama di kalangan masyarakat di daerah, khususnya mereka yang berusia 40 tahun ke atas. Kondisi ini tentu menjadi penghambat perkembangan digitalisasi layanan publik yang telah diupayakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
.Di lain sisi, digitalisasi pelayanan publik telah memberikan banyak dampak positif bagi penerima layanan. Dengan adanya sistem pelayanan yang bisa diakses di mana saja, penerima layanan dapat dengan mudah mendapatkan informasi terkait layanan dan bisa mengaksesnya kapan saja, tanpa harus mendatangi instansi pemberi layanan secara langsung. Digitalisasi pelayanan publik juga telah memberikan efisiensi, karena sistem yang sudah terintegrasi akan mengurangi proses birokrasi yang berbelit-belit. Contohnya adalah sistem pelaporan SPT PPh 21 wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan, yang pada tahun 2019 masih dilakukan secara langsung di kantor pajak. Namun pada tahun 2020, Direktorat Jenderal Pajak telah mengubah sistem pelaporan ini sehingga bisa dilakukan langsung melalui website tanpa harus datang langsung ke kantor pajak.
Meskipun inovasi layanan ini sangat baik, ternyata belum semua wajib pajak dapat beradaptasi dengan teknologi tersebut. Banyak wajib pajak, terutama dari generasi boomer tidak bisa menggunakan website ini sehingga membutuhkan bantuan dalam penggunakannya. Oleh karena itu banyak Kantor Pelayanan Pajak membuka ruang pelayanan publik pada masa pelaporan SPT ditempat umum untuk membantu wajib pajak yang kesulitan dalam melaporkan SPT.
Ke depannya, tantangan dalam menghadapi kesenjangan digital akan terus berlanjut, mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki keterampilan teknologi. Meskipun sebagian besar sudah memiliki smartphone dan memiliki akses ke internet. Nyatanya, lebih banyak yang mengakses internet untuk hiburan ketimbang pengumpulan informasi. Tentu saja hal ini harus menjadi perhatian pemerintah agar manfaat digitalisasi pelayanan publik dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuat program peningkatan keterampilan digital, misalnya melalui pelatihan di daerah-daerah yang tertinggal, sehingga masyarakat di desa bisa dibekali kemampuan untuk mengoperasikan perangkat digital demi keperluan layanan publik.
Diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak untuk mewujudkan hal ini, mulai dari pemerintah, swasta, dan masyarakat itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa digitalisasi pelayanan publik sebenarnya memberikan lebih banyak dampak positif terhadap penerima layanan. Penerima layanan dapat mengakses informasi kapan saja dan di mana saja. Penerima layanan juga bisa mendapatkan pelayanan dalam waktu yang relatif singkat sehingga bisa menghemat waktu dan tenaga ketimbang langsung datang ke instansi pemberi layanan.
Terkait kesenjangan digital yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan publik, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah untuk mengatasinya. Pemerintah dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap teknologi dan jaringan internet, terutama di daerah pedalaman. Pemerintah juga dapat menyelenggarakan pelatihan dan literasi digital kepada masyarakat untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam menggunakan teknologi. Generasi Z yang lahir di era digital ini memiliki peran penting dalam hal ini, dengan membantu masyarakat yang tidak paham teknologi untuk mempelajarinya.
Tentunya untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang diharapkan, dibutuhkan kolaborasi yang memadai antara sistem pelayanan, SDM pemberi layanan, dan lembaga yang mengelola pelayanan itu sendiri. Ketiga aspek ini harus dipenuhi agar pelayanan prima benar-benar bisa terwujud.