Artikel
Keluhan Sakit = Psikosomatis?
Kamis, 14 Mei 2020 | 05:19:15 WIB - Jumlah Dilihat: 940
 
 

Keluhan Sakit = Psikosomatis?

Oleh : Nuniya dan Tim Psikolog

Akhir-akhir ini beredar istilah ‘psikosomatis’ di kalangan masyarakat dikaitkan dengan perubahan pola hidup yang terjadi karena keberadaan pandemic. Psikosomatis dikatakan sebagai ‘biang kerok’ munculnya keluhan fisik di sejumlah individu. Sebagian kalangan medis juga terdengar telah memberikan diagnosis psikosomatis setelah mendengar keluhan pasien dengan didasari kemungkinan adanya perubahan dalam cara kerja, rutinitas di rumah, atau berkurangnya beberapa jenis kegiatan di luar tempat tinggal karena himbauan pemerintah agar masyarakat berada di rumah.

 

Berdasarkan gambaran yang ada di lapangan, benarkah anggapan psikosomatis sebagai sumber keluhan penyakit?

 

Di kalangan umum, psikosomatis diartikan sebagai munculnya symptom sakit fisik tanpa penyebab fisik, melainkan dikarenakan gangguan kecemasan.

 

Dari pengertian yang dipahami oleh khalayak tersebut bisa diartikan ketika sebagian yang datang memilliki keluhan fisik (yang juga merupakan tanda gangguan fisik akibat cemas), seakan ada generalisir bahwa mereka sebenarnya tidak mengalami gangguan fisik. Kemudian, setiap orang yang datang dengan keluhan fisik tersebut akan dianggap sebenarnya hanya merasa cemas dan tidak ada sakit fisik. Atau dengan kata lain, orang yang datang dengan keluhan fisik di gangguan kecemasan tidak perlu diberi penanganan khusus mengenai gejala fisiknya, namun ditangani secara psikis. Bila terus berulang, pemberian diagnosis psikosomatis dapat menjadi semacam pelabelan bahwa individu yang mengalami keluhan fisik sebenarnya memiliki gangguan mental kecemasan.

 

Mengapa bisa dianggap kurang tepat?

Penentuan kecemasan yang dapat disebut taraf gangguan psikis pada seseorang memerlukan penelusuran yang cermat. Mulai dari jenis keluhannya, frekuensi, latar belakang pendorong, pemicu, dan banyak hal lain yang perlu dipastikan untuk sampai pada kesimpulan adanya kecemasan sebagai bentuk gangguan.

Kemudian, ketika dikaitkan pada bentuk gangguan fisik sebagai hasil dari gangguan kecemasan, proses yang dilakukan untuk sampai pada diagnosis tersebut tentunya akan lebih panjang. Misalnya, individu yang datang dengan keluhan, harus dipastikan bahwa rasa sakitnya tersebut sudah terjadi berulang, terasa intens, prosesnya sudah terjadi sampai tahunan pada masa dewasa, memiliki pembawaan sifat tertentu, dan biasanya memang memiliki permasalahan social berkepanjangan. Selain itu, perlu dilakukan sejumlah pemeriksaan fisik, misalnya tes lab, scan CT, x ray, atau bahkan MRI untuk menetapkan bahwa rasa sakit yang timbul tersebut bukan karena factor kelainan fisik. Lagipula, istilahnya pun bukan psikosomatis, namun mengingat istilah tersebut masih cukup popular, sepertinya masih memungkinkan bila tetap dianggap sebagai tanda penyebutannya. Psssst untuk jenis gangguan ini pun tetap ada penanganan keluhan fisiknya di samping terapi psikologis lhoooo ^ - ^.

Prosesnya penentuan gangguan psikis ini cukup rumit dan tidak bisa serta merta dikeluarkan diagnosis ini, karena salah-salah, seseorang yang sebenarnya memang ada kebutuhan terapi pengobatan fisik, malah dianggap “hanya” mengeluh. Alih-allih mendapatkan pengobatan yang diperlukan, keluhan yang terjadi dapat bertambah parah karena terlambat dalam penanganannya.

 

Lalu mengapa berbagai keluhan fisik seakan menjamur padahal sepertinya bukan sakit?

Oke, kita lihat bersama akhir-akhir terjadi perubahan pola hidup di sebagian besar dari masyarakat. Perubahan ini menuntut banyak sikap, kebiasaan, rutinitas, dan perubahan lain terhadap seseorang. Semua yang merasakan perubahan ini pastinya melakukan beragam adaptasi, dan yang namanya adaptasi itu berarti ada hal yang tetap, ada juga penambahan aktivitas, penambahan pikiran, atau memilah memilih mana yang harus dikurangi. Akhirnya hal ini membuat seseorang menjadi lelah, lelahnya pun bisa lelah fisik juga lelah psikis.

 

Kenapa malah loncat jadi lelah?

Sebagian akan berpikir tadinya pergi keluar rumah pasti lebih capek daripada berada di rumah sepanjang hari dengan alasan tidak harus berjalan, tidak harus ke sana kemari, atau tidak harus berhadapan dengan kemacetan. Lalu mengapa harus capek.

Mungkin seseorang tidak harus pagi buta dalam situasi sekarang, namun kenyataannya seseorang harus menyesuaikan penyelesaian pekerjaan dari sisi jenis, cara penyelesaian, ataupun tuntutan waktu. Atau, dari memperhatikan sikon rumah keseharian, seseorang menjadi perlu turun tangan mengurus/ membereskan rumah tiap hari, atau melakukan penyesuaian tata letak, mengurus anggota lain di rumah, atau berbagai urusan lain di rumah sambil tetap harus menyelesaikan tuntutan pekerjaan. Hal lainnya, sebagian harus mengatur kegiatan anak, atau mendampingi mereka belajar, atau penyelesaian tugas, ini pun belum memperhatikan jumlah anak yang mungkin lebih dari satu. Tentunya penyesuaian-penyesuaian semacam ini terkadang tanpa disadari mempengaruhi kondisi fisik menjadi turun, lebih lanjut akan mungkin muncul keluhan sakit.

 

Terus tentang psikis tadi bagaimana?

Bukan hanya masalah kebiasaan, dalam situasi baru ini banyak hal-hal yang akan menguras pikiran juga emosi. Misalnya saja, jumlah informasi banyak yang masuk dan akhirnya bisa membuat cemas atau gelisah ataupun takut. Contoh lainnya, pengelolaan kegiatan sehari-hari belum sesuai dengan keinginan membuat kesal dan marah. Atau pemasukan dan pengeluaran keuangan yang masih belum stabil karena perubahan kebutuhan dapat memunculkan rasa waswas. Tidak mengherankan hal-hal tersebut membuat letih. Terkadang malah saking intens perasaan emosinya, orang menjadi tegang dan tubuhnya bereaksi dengan rasa sakit. Mungkin lebih mudahnya, ini semacam dengan pengalaman rasa tegang saat ujian dengan dosen galak yang kemudian membuat perut sakit, deg-degan, atau mulut tenggorokan kering. Tapi tenang saja, ini belum sampai pada gangguan kecemasan yang tadi sempat disebutkan.

 

Konon sebagian pihak menyebut penyesuaian seseorang berkisar 3 bulan, kadang lebih cepat, ada juga yang lebih lama. Jadi, tak perlu khawatir, karena semua masih sebatas reaksi-reaksi wajar dari seseorang ketika merespon berbagai perubahan dalam waktu singkat. Justru yang diperlukan adalah mengatur agar secara bertahap lebih terbiasa dengan rutinitas baru, berolahraga untuk menambah stamina, dan juga belajar untuk lebih rileks dalam menghadapi kekusutan pikiran. Namun, bila dirasa sangat mengganggu, perlu untuk menghubungi ahli medis yang kompeten untuk mengatasi keluhan fisik yang muncul. Selain itu, bila emosi terasa sangat mengganggu kegiatan keseharian, bisa juga menghubungi tim konseling untuk mendapatkan saran tambahan.

 

Jadi kalau muncul keluhan fisik yang mirip dengan gambaran gejala psikosomatis yang telah digambarkan, maka :

-Mengingat sudah terasa sakit di satu atau beberapa bagian tubuh, tetap harus diberikan penanganan fisik/ medis untuk meredakan sakitnya sebagai langkah utama. Jangan ragu untuk konsul pada dokter yang kompeten

-Kalau gangguan tersebut muncul tenggelam dalam kurun waktu di masa pandemic ini, berarti kegiatannya perlu diatur kembali, serta emosi perlu diatur agar lebih tenang. Dan jika mengganggu sampai sangat sulit untuk melakukan kegiatan keseharian, tentu mencari bantuan penanganan psikologis pada psikolog yang dipercaya.

-Sedangkan jika ada yang merasakan gejala-gejala setelah mendengarkan deskripsi gejala, atau mendengar orang lain sedang mengalami gejala, maka itu adalah sugesti. Segera alihkan perhatian ke hal lain yang menyenangkan.

 
LOGIN PEGAWAI