Artikel
Mencari Menteri untuk Sang Presiden
Selasa, 22 Oktober 2019 | 04:30:30 WIB - Jumlah Dilihat: 568
 
 

Mencari Menteri untuk Sang Presiden

Oleh : Agus Wahyuadianto

 

Potongan lagu “On My Way” dari Alan Walker menyentak konsentrasiku menulis artikel jurnal. Buru-buru kuangkat telepon selulerku.

Assalamu’alaikum. Halo, dengan Agus di sini.” sambutku.

“Mas Agus, saya mau minta tolong nih!” kata seseorang di ujung telepon.

“Tolong bantu saya memilih menteri!” sambung pemilik suara itu lagi.

Kuperkirakan dari suaranya yang tidak terlalu berat, bahwa sosok lelaki ini usianya sekitar 50 tahun dan dari aksennya berasal dari suku Jawa. Orangnya supel, ramah, dan njawani, tapi bisa bertindak tegas.

“Masa sih ini Pak Jo?” batinku. Baru semalam aku lihat beliau di televisi saat pelantikan presiden.

Emm. Apakah ini betul dengan Yang Mulia Presiden? Baik, Yang Mulia. Insya Allah saya siap membantu!” jawabku terbata-bata.

Gak usah pakai Yang Mulia segala, wong saya ini manusia biasa. Cukup panggil Pak Jo saja.” tukasnya.

“Ya sudah, kalau bisa bantu. Saya tunggu di istana besok pagi jam 7. Kita ngobrol sambil sarapan gudeg manggar kesukaan sampeyan!” perintah Pak Jo tegas menutup percakapan telepon.

 

Singkat cerita sampailah aku di istana. Setelah menghabiskan satu piring gudeg manggar dan dua buah tempe gembus, Pak Jo terlihat membuka pembicaraan.

“Mas Agus, sampeyan kan tahu saya sedang memilih menteri. Saya mbok dikasih tahu kriteria menteri yang cocok untuk zaman sekarang ini.” ucap Pak Jo dilanjutkan nyeruput teh nasgitel.

Aku tahu Pak Jo orangnya lugas tapi suka pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu jawabanku harus singkat dan padat, jangan ndakik-ndakik terlalu rumit pakai filosofi atau kutipan teori.

Kutegakkan posisi duduk sambil berusaha tetap rileks.

Inggih Pak. Saya paham kegalauan Bapak terkait pemilihan menteri ini. Pada kabinet lampau, menteri yang Bapak pilih hampir semuanya punya pengetahuan dan keterampilan memadai untuk duduk di jabatannya. Tapi saya nilai cukup banyak yang tersandung masalah etika atau moral. Hal ini yang mesti ditambahkan untuk kabinet sekarang.” jawabku panjang.

Pak Jo mencondongkan badan ke depan. “Lalu bagaimana caranya?” Pak Jo penasaran.

“Saya ambil contoh strategi Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang terkenal sukses menjalankan pemerintahannya sehingga tak ada fakir miskin yang layak disantuni oleh negara. Umar memilih komandan pengawal pribadi dari tim pengawal khalifah lama. Tapi keunggulannya adalah komandan baru ini salat dan nderes Quran lebih khusuk saat tidak dilihat orang lain. Umar juga pernah menguji calon pejabatnya dengan cara menyuruh orang lain bertanya harta apa yang akan diberikan pada utusannya bila si kandidat diangkat jadi gubernur,” sahutku.

“Maksudnya, menteri saya haruslah orang yang punya moral baik di muka umum, tapi lebih saleh lagi saat hanya ada dirinya sendiri dan Tuhan yang mengawasi. Apakah begitu, Mas?” Pak Jo menyimpulkan jawabanku.

Leres. Betul sekali, Pak. Selain itu, menteri Bapak haruslah orang yang kompeten di jabatannya. Bisa dengan mengambil orang yang sudah lama bekerja di substansi tersebut atau yang serumpun dengannya. Soft skill bisa ditransfer untuk jabatan apa saja, tapi hard skill terbatas karena tergantung konteks pekerjaan. Moral bersifat cukup permanen bila diperkuat dengan pengulangan atau kebiasaan sehari-hari.” sambungku.

“Lalu, bagaimana dengan menteri yang kadang suka berdebat di ruang publik dan membuat saya malu?” tanya Pak Jo.

Ini pasti kaitannya dengan beberapa kasus polemik kebijakan antar menteri yang bertolak belakang atau menteri-menteri yang kelewat rajin berkomentar sehingga memicu perdebatan publik. Aku tersenyum dalam hati.

“Kondisi ini agak sulit dihindari, karena Bapak sendiri penyebabnya,” sanggahku cepat.

Lho, kok saya yang dituduh biang masalah?” dahi Pak Jo mengernyit tanda tak setuju.

“Kan Bapak yang minta supaya menteri aktif berkomunikasi dengan masyarakat dan cepat tanggap menghadapi permasalahan atau isu-isu yang meresahkan publik. Tanggapan yang berpolemik adalah yang bersifat parsial, hanya melihat dari kepentingan satu kementerian saja,” jawabku tenang.

“Sebaiknya Pak Jo sebagai pimpinan tetap membiarkan inisiatif menteri sebagai bagian dari dinamika pemerintah dan mendidik masyarakat untuk berpikir kritis. Kecuali untuk masalah yang darurat atau strategis, maka kesatuan opini harus diutamakan.” sambungku.

“Nah, saya tertarik dengan pernyataan sampeyan barusan. Harus seberapa kritiskah masyarakat kita?” tanya Pak Jo bersemangat.

“Saya kutip lagi sejarah Khalifah Umar. Dalam pemerintahannya, Umar didampingi oleh dewan penasihat yang merupakan ahli hukum, agama, perang, dan etika. Selain itu dia buka peluang bagi masyarakat untuk mengadu langsung padanya atau pun melalui gubernur-gubernur yang tersebar di seantero jazirah Arab. Komunikasi yang terbuka membuat Umar tahu masalah riil di masyarakat, bahkan perilaku baik atau buruk dari aparatnya. Kritik yang masuk ada yang disampaikan dengan baik, pun ada yang kasar. Tapi itu diterima dengan lapang dada sebagai pimpinan tertinggi. Di sini keteladanan dari pemimpin tertinggi menjadi faktor kunci. Lambat laun bawahan akan mengikuti contoh dan menginternalisasikan sebagai nilai personal.” jawabku panjang lebar.

“Sistem yang dibangun saat Umar memimpin tidak hanya didasarkan pada Quran dan Sunah, tapi dimanifestasikan pada keteladanan pimpinan dan kolektivitas dalam mengambil keputusan serta mengelola negara. Sehingga masyarakat, termasuk aparatnya, terkondisi untuk mengikuti sistem yang baik dan mempertahankannya.” imbuhku.

“Wah kayanya Mas Agus nge-fans dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ya?” goda Pak Jo.

Fans berat sih enggak Pak. Tapi memang saya nilai Umar ini punya kelebihan sebagai kepala negara yang baik meski cuman memerintah 4 tahun,” tukasku.

“Sayang ya, cuma sebentar. Masih lebih mending saya bisa 2 periode ha..ha..ha..,” gurau Pak Jo.

“Beliau berhenti jadi khalifah karena meninggal diracun. Meski jadi khalifah yang baik, banyak juga musuhnya. Tidak ada yang sempurna, Pak!” jawabku.

Kami sama-sama terdiam, terbawa angan atas nasib Khalifah Umar sambil memandangi cangkir teh yang sudah diisi ulang 3 kali.

“Mas, mau gak jadi menteri atau setidaknya penasihat saya? Nanti saya diceritai lagi kisah Khalifah Umar,” kata Pak Jo memecah keheningan.

“Ah, Bapak pasti bercanda. Tapi kalau Pak Jo memaksa Saya ma…”

Pandanganku tiba-tiba kabur dan kepalaku terasa berputar cepat. Badanku terasa berat, seakan dadaku ditimpa ratusan kuintal.

“Ya Allah, jangan-jangan cangkir tehku diracuni. Apakah nasibku akan sama seperti Khalifah Umar? Inikah akhir hidupku? Padahal aku belum jawab kesediaanku menjadi menteri Pak Jo!” teriakku tapi anehnya tak ada suara yang keluar.

 

“Papi, wake up!” samar-samar kudengar suara Brizia dari atasku.

Kubuka mata dan kulihat senyum balita 3 tahun yang menduduki badanku sambil bermain buku tebal Biografi Umar bin Abdul Aziz.

Alhamdulillah, aku hanya bermimpi. Mimpi yang aneh, tapi membawaku pada perenungan bahwa memilih orang yang bisa dipercaya tidaklah mudah apalagi bila ada keuntungan dalam posisi barunya. Pertama, pilihlah orang yang kompeten dan punya moral-perilaku yang santun. Banyak orang pandai, tapi yang punya attitude santun akan lebih berguna karena membantu menciptakan suasana kerja yang nyaman dan produktif. Kedua, ketika pada posisi memimpin, maka keteladanan berdampak lebih nyata daripada sekedar perintah saja. Sangat mudah untuk meminta orang melakukan kebaikan tapi bersikap konsisten bahkan ketika tak ada orang lain yang melihat menjadi latihan dalam membentuk sikap mental diri sendiri. Ketiga, baik dalam posisi sebagai pimpinan maupun pengikut maka kesadaran bahwa orang lain memiliki kelebihan akan menjauhkan dari sifat egosentris sehingga lebih mudah membangun tim kerja yang solid. Tim yang baik akan saling melengkapi kelemahan anggota lain dan berjalan dengan mengandalkan kolektivitas sehingga hasilnya lebih baik daripada saat dikerjakan sendiri. Tiga poin penting ini semoga bisa dimanfaatkan bagi kepentingan organisasi tempatku bekerja. (AvJ)

 
LOGIN PEGAWAI