Berita
Kepemimpinan Transformasional
Rabu, 19 April 2017 | 11:19:50 WIB - Jumlah Dilihat: 745
 
 

Jatinangor – Hari ini (18/04) Dr. Joni Dawud, DEA hadir memberikan ceramah dalam penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III Angkatan I Tahun 2017 di PKP2A I LAN Jatinangor. Ceramah Isu Strategis dengan judul: Mengembangkan Pemimpin Transformasional untuk Melakukan Perubahan Inovasi ini dihadiri oleh 40 peserta Diklatpim Tingkat III Angkatan I Tahun 2017 dari instansi pusat maupun instansi daerah.

Mengawali ceramahnya, Joni Dawud menyampaikan bahwa perlunya pemimpin perubahan (transformasional) dilatarbelakangi oleh Worldwide Governance Indicators yang ditunjukkan oleh efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Ada 5 (lima) indikator dari efektivitas penyelenggaraan pemerintahan ini, di antaranya adalah: (1) kualitas pelayanan publik, (2) kualitas pelayanan aparatur, (3) tingkat kemandirian dari tekanan politik, (4) kualitas rumusan kebijakan dan implementasinya, dan (5) kredibilitas komitmen pemerintah. Pada tahun 2012, Indonesia memperoleh nilai 44/100 dilihat dari sisi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan ini.

Di dunia Internasional, Indonesia menempati peringkat ke-114 dari aspek Kemudahan dalam Berbisnis, dengan Singapura sebagai negara peringkat 1. Pun dengan ranking Indonesia dalam Indeks Daya Saing Global. Pada survei terakhir, Indonesia menempati ranking ke-34 dari 144 negara dilihat dari Indeks Daya Saing Global. Seperti mendukung dua pernyataan sebelumnya, indeks persepsi korupsi Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa permasalahan di atas sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin.

Joni Dawud berpendapat bahwa pembangunan di Indonesia berjalan dengan santai. Berbeda dengan negara lain yang boleh dibilang “berlari” dalam mewujudkan pembangunan negaranya. Bukti bahwa Sumber Daya Alam Indonesia sangat melimpah sudah tidak perlu disangsikan lagi: semua bahan tambang ada di Indonesia, bahkan satu sajak menyatakan tongkat, kayu dan batu bisa jadi tanaman. Hal ini menggambarkan betapa suburnya tanah Indonesia. Namun perlu diakui pula bahwa pengelolaan dan pemberdayaan SDA ini yang belum optimal.

Ada beberapa gambaran buruk persepsi publik terhadap birokrasi di Indonesia, di antaranya adalah:

  1. Boros/ inefisiensi, salah satunya ditunjukkan dengan kegiatan rapat yang memilih dilaksanakan di luar kantor yang tentunya akan menghabiskan dana yang besar dibanding dengan dilaksanakan di dalam kantor sendiri. Meskipun pada prinsipnya anggaran harus terserap secara optimal, namun hal  ini tidak dapat menjadi alasan utama. Anggaran seharusnya dimanfaatkan secara optimal, bukan berlomba-lomba untuk menghabiskan anggaran.
  2. Inefektivitas, yang berarti tidak tepat guna/ tidak tepat sasaran, di mana manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Misalnya ada kegiatan studi banding ke luar negeri dengan tujuan menuntut ilmu dan mempelajari sistem yang bekerja di sana. Ketika ilmu yang diperoleh dari hasil studi banding tersebut di-compare-kan kemudian dikaji dan diterapkan di Indoneisa, maka dapat dikatakan bahwa tujuan studi bandingnya tercapai. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, maka kegiatan studi banding tersebut patut dipertanyakan, jangan-jangan lebih banyak jalan-jalan dan mainnya.
  3. Lamban, yang dipersepsikan dengan sistem yang sangat birokratis/ berjenjang dan bertele-tele, serta tidak cekatan/ gesit dalam melaksanakan pekerjaan kepemerintahan. Dapat dipastikan bahwa pegawai yang bekerja di lembaga/ instansi swasta akan memiliki etos kerja yang tinggi dibandingkan dengan pegawai yang bekerja di lingkungan pemerintahan (PNS). Hal ini didasari dengan adanya tantangan dalam pekerjaan yang mungkin dapat mengancam keberadaan dirinya dalam organisasi tempatnya bekerja. Selain itu, terbentuknya kebiasaan-kebiasaan bekerja dengan lamban dan adanya sistem birokrasi yang membatasi (memagari) perilaku menjadi menghambat kinerja pemerintahan.
  4. Malas dan tidak disiplin
  5. Kaku (rigid)
  6. Pasif dan reaktif
  7. Tidak kreatif/ inovatif
  8. Minta dilayani
  9. Tidak kompeten
  10. Tidak peduli

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan? Tentunya kita harus berubah menuju perbaikan. Indonesia butuh pemimpin yang LUAR BIASA untuk setiap level pemerintahan, bukan pemimpin yang biasa-biasa saja, yang hanya akan melanggengkan kebiasaan yang ada. Bangsa ini juga membutuhkan pemimpin yang berani melakukan perubahan (tranformasi), mampu melakukan lompatan-lompatan besar menuju kemajuan yang lebih baik lagi.

Membentuk pemimpin transformasional, setidaknya harus dibentuk pula 4 (empat) karakter pemimpin transformasional. Keempat karakter tersebut yaitu:

  • Jujur dan Amanah
  • Konsisten, artinya terdapat keselarasan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan
  • Cerdas, secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual
  • Sikap dan perilaku yang santun, rendah hati, toleransi, dan terbuka (mau menerima saran/ pandangan dari orang lain yang benar)

Sebagai penutup, Joni Dawud menyampaikan: “Menyelesaikan satu masalah bangsa tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja dan hanya menggunakan satu kacamata. Tetapi harus dilihat dari berbagai aspek dan menggunakan berbagai kacamata. Bukan hanya pemerintah yang bekerja, tetapi juga membutuhkan partisipasi dari semua pihak. Keberhasilan pembangunan tidak hanya ditentukan oleh top manajer, tetapi juga oleh middle dan lower manajer. Untuk itu kebersamaan dan kesolidan dalam melakukan pembangunan diperlukan untuk menentukan keberhasilan pembangunan.” (Ressy N)

 
LOGIN PEGAWAI